Jumat, 13 Januari 2017

SI MISTERIUS “TELAGA LINA”



Di Propinsi Maluku Utara tepatnya di Kabupaten Halmahera Utara terdapat beberapa telaga diantaranya Telaga Paca, Telaga Lina, dan Telaga Duma. Telaga Paca dan Telaga Duma bisa diakses dengan mudah karena lokasinya yang tidak jauh dari jalan umum dan mudah dijangkau. Berbeda dengan kedua telaga tadi, Telaga Lina belum banyak diketahui dan dikunjungi orang. Saya mengetahui tentang telaga ini, saat saya bertugas di Halmahera Utara, di Yayasan Tangan Pengharapan. Berawal dari keingintahuan saya tentang tempat-tempat wisata yang ada di Halmahera Utara, menggali informasi saat berbincang dengan orang, salah satunya Pak Yos Sengo seorang pemuda Gereja Bethany Soamaetek. Beliau bercerita tentang Telaga Lina yang memiliki ikan yang melimpah dan juga rasa yang khas. Singkat cerita saya dikenalkan dengan Pak Apner Manolang yang memiliki gereja dan rumah di Telaga Lina. Dihantui rasa penasaran, saya bersama Pak Yos menyusun rencana untuk ke Telaga Lina.
Jumat 4 November 2015, sekitar pukul 05.00 kami berangkat dari Center YTP di Desa Soamaetek. Saya dibonceng oleh Pak Haya sementara Pak Yos bersama Pak Herson. Diperluhkan waktu sekitar 40 menit berkendaraan dengan melewati daerah Kusuri-Trans Zero dengan jalan yang tak beraspal kadang bergelombang dan terjal hingga tiba ditempat penggalian tanah. Perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati hutan, yang memakan waktu sekitar 85 menit. Motor Pak Herson, ditinggalkan di Hutan, sementara Pak Haya kembali kedesa. Rasanya menyenangkan sekali berjalan di tengah kesunyian hutan, dengan pohon-pohon tinggi, perdu, dan rimbunnya tumbuhan paku. Kami beristirahat sejenak di pertengahan jalan, sambil menikmati makanan ringan yang dibawa. Kami pun melanjutkan perjalanan dengan melewati sungai, kebun, dan hutan yang semakin gelap dengan modal senter kecil dan HP. Diperluhkan waktu sekitar 1 jam 20 menit untuk tiba ditelaga. Saat tiba, waktu sudah menunjukan pukul 19.45 malam.
Saat tiba, Pak Abner hendak pergi mandi, kami juga turut serta. Kami berangkat menuju telaga. Dengan memakai rakit dari bambu kami menyebarang telaga untuk pergi mandi ditempat yang disebut air dingin. Air dingin merupakan mata air yang berada persis di samping telaga dan airnya mengalir ke telaga. Mata air ini digunakan untuk keperluan minum dan mandi oleh warga Telaga Lina. Saat kembali kami dihidangkan makanan berupa nasi, ikan bakar, ikan goreng yang disiram bumbu pedas, dabu-dabu, dan pisang rebus. Sesudah menikmati makanan, kami bercerita ditengah kesunyian malam di tengah hutan yang sepi dengan udara yang semakin dingin.
Keesokan paginya kami mengelilingi Telaga untuk mengambil gambar. Konon keberadaan telaga ini pada awalnya merupakan sebuah kampung yang tenggelam akibat adanya dua insan bersaudara yang saling jatuh cinta sehingga. Telaga yang cukup luas ini memiliki ketinggian 96 meter dengan bentuk menyerupai huruf C. Ada hal yang hingga sekarang belum terjawab mengenai perubahan warna air telaga yang sering berubah menjadi kecoklatan dan kadang kehijauan. Masyarakat juga mempercayai bahwa didasar telaga ada harta karun yang terpendam.  Di telaga ini terdapat ikat gabus, nila dan mujair yang berukuran besar. Masyarakat yang mendiami wilayah telaga kebanyakan orang dari Desa Pitago dan Soamatek, Kecamatan Kao Barat. Telaga ini diberikan kepada mereka sebagai hadiah dari sultan.
Masyarakat hidup dengan menangkap ikan ditelaga dan berkebun. Saat mendapat hasil tanggkapan dalam jumlah yang banyak biasanya ikan ditampung pada kerambah sederhana dari jaring yang di sungai. Kebun warga dibuat dengan membongkar hutan untuk ditanam singkong, pisang, pala, padi, dan kacang. Masyarakat terbagi menjadi dua wilayah yakni Kampung Tua yang dihuni oleh sekitar 22 kepala keluarga yang menetap pada 9 rumah. Dikampung Tua ada sebuah gereja sederhana, biasanya mereka beribadah pukul 10.00 yang dipimpin oleh pelayan dari Gereja GMIH Pitago. Saat disana saya beribadah bersama mereka. Sesudah ibadah, kami makan bersama dengan lauk ikan dan nasi yang dimasak memakai bambu, namanya nasi bulu. Kami makan dengan suasana yang hangat dan damai. Dikampung baru ada 4 rumah dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 6. Selama ditelaga saya menginap dikampung baru. Saat malam malam minggu kami makan malam dengan nasi kuning, ikan bakar, dan pisang bakar yang saya bakar sendiri.
Walaupun tak mudah untuk menemukan dan menuju telaga, semuanya akan terbayar dengan pesona dan suasana telaga yang berada ditengah lebatnya hutan. Saya bersyukur bisa mengunjungi Telaga Lina yang asri dan misterius dengan warga yang ramah dan sangat bersahabat. Walau hanya 3 hari, saya merasa beruntung bisa berkunjung, semoga suatu saat saya bisa berkunjung lagi. Saya berharap keindahan Telaga Lina tetap terjaga.