Oktavia Lazadi,
gadis kecil dengan senyum tulus yang mempesona. Lahir di desa Parseba, 24
Oktober 2010. Okta mempunyai seorang saudara bernama Upan. Putri dari Bapak
Hamid Lasadi ini adalah anak binaan TK Tangan Pengharapan, di desa Soamaetek,
Halmahera Utara. Pemiliki senyum indah memiliki kemampuan akademik diatas
rata-rata. Ia sudah bisa membaca, berhitung, bahkan sudah bisa mengerjakan soal
penjumlahan bersusun dan berdoa dalam bahasa inggris. Anak ini sangat rajin
mengikuti les tambahan yang saya berikan di malam hari.
Melihat senyum
ceria Oktavia, terkadang membuat hati kecil ini bergejolak. Di balik senyuman
tulusnya, Okta sering mendapat perlakuan yang
tidak adil, teman sebayanya tidak mau berteman, dan tidak mau berpegangan
tangan dengannya karena ibu dan neneknya terserang penyakit kulit. Walau
demikian, hal ini tak pernah menghalangi okta untuk terus semangat belajar,
kemampuan akademiknya bahkan mengalahkan anak-anak FLC yang sudah duduk di
bangku Sekolah Dasar. Okta, sering membantu saya mengajar teman-temanya
membaca. Okta juga memiliki kepekaan yang tinggi untuk membantu sesama,
beberapakali saya mendapati okta membuka sepatu adik kelasnya yang hendak masuk
belajar di kelas. Mutiara terkucilkan ini menjadi “guru” bagi saya bahwa
terkucilkan dan hidup sederhana tidak menjadi penghalang untuk berprestasi dan
peduli dengan semua orang. Saya berdoa dan berharap “Mutiara kecil” akan meraih
impiannya dan mengubah kehidupan keluarganya menjadi lebih baik.Jumat, 31 Maret 2017
“MEANINGFUL MOMENT”
Menjadi guru
pedalaman Yayasan Tangan Pengharapan, di Halmahera Utara, Propinsi Maluku Utara
merupakan anugerah bagi saya di mana saya dapat melihat potret pendidikan anak
pedalaman dan turut menikmati culture dan budaya masyarakat setempat. Saat
menginjakan kaki didesa Soamaetek, Kao Barat pada tanggal 14 Agustus 2016, mata
saya meyaksikan potret wanita Halmahera yang kuat dan tangguh dengan memakai
tas punggung tradisional yang berbentuk bundar yang mengerucut kebawah “Saloi”.
Saloi dengan muatan berupa hasil kebun, seperti “batata”/singkong, dan kayu
bakar tentu tidaklah mudah untuk dibawah. Saya juga melihat betapa tidak
mudahnya kaum pria Halmahera dalam membuat “kopra”. Melihat kedua potret ini
membuat saya teringat akan perjuangan dan kerja keras kedua orang tua saya
dalam membesarkan dan mendidik saya. Saat mengikuti upacara HUT Proklamasi RI
di Kecamatan Kao Barat, saya kembali terpana dengan olahan berbagai jenis
pangan lokal yang disajikan oleh ibu PKK yang mengikuti lomba. Menu yang
disajikan merupakan olahan pangan lokal seperti “sabeta” atau ulat sagu, nasi
bulu, nasi jaha, “ikan kobos”/ikan gabus, dan olahan sejenis belut “sogili”.
Di Center Tangan
Pengharapan Halmahera saya mengajar pagi dan siang hari. Pagi saya mengajar di
Taman Kanak-kanak dan siang hari mengajar di Feeding & Learning Center. FLC
merupakan salah satu program YTP untuk memberikan makanan tambahan dan
pendidikan secara gratis di center-center yang tersebar diseluruh wilayah
pedalaman Indonesia. Mengajar di Taman Kanak-kanak merupakan pengalaman
mengajar saya yang pertama. Awalnya saya mengalami kesulitan karena anak-anak
kecil yang belum terbiasa dengan guru baru dan kendala bahasa. Namun, hal ini
tak bertahan lama hanya dalam 3 hari kesulitan ini teratasi dan anak-anak
semakin akrab dan senang belajar dengan saya. Selama mengajar di TK Tangan
Pengharapan didesa Kai Atas saya dibuat kagum dengan peningkatan hasil belajar
anak didik saya yang rata-rata sudah mampu membaca 4 huruf, berhitung, dan
begitu semangat saat bernyanyi. Bahkan anak didik saya mampu meraih juara 1 dan
2 lomba cerdas cermat antar TK Tangan Pengharapan di Halmahera. Saya juga
dibuat kagum oleh salah satu anak didik saya Astince yang memiliki kesadaran
untuk “peduli” dengan sesama.
Ini merupakan
pengalaman berharga bagi saya untuk terus belajar bersyukur dengan apa yang
saya miliki dan membagi semua potensi yang saya miliki untuk kemajuan Generasi
Bangsa, khususnya anak pedalaman yang belum mencicipi pendidikan yang layak dan
merata. Saya juga bersyukur bisa melihat dan merasakan kehidupan masyarakat
pedalaman yang sederhana dengan cultur budaya yang berbeda namun tetap satu
Indonesia. Maju terus generasi bangsa Pedalaman Halmahera Utara, Raih impianmu
dan jadilah generasi masa depan yang berdampak. (Arianto_S)
Add caption |
Jumat, 13 Januari 2017
SI MISTERIUS “TELAGA LINA”
Di Propinsi
Maluku Utara tepatnya di Kabupaten Halmahera Utara terdapat beberapa telaga
diantaranya Telaga Paca, Telaga Lina, dan Telaga Duma. Telaga Paca dan Telaga
Duma bisa diakses dengan mudah karena lokasinya yang tidak jauh dari jalan umum
dan mudah dijangkau. Berbeda dengan kedua telaga tadi, Telaga Lina belum banyak
diketahui dan dikunjungi orang. Saya mengetahui tentang telaga ini, saat saya
bertugas di Halmahera Utara, di Yayasan Tangan Pengharapan. Berawal dari keingintahuan
saya tentang tempat-tempat wisata yang ada di Halmahera Utara, menggali
informasi saat berbincang dengan orang, salah satunya Pak Yos Sengo seorang
pemuda Gereja Bethany Soamaetek. Beliau bercerita tentang Telaga Lina yang
memiliki ikan yang melimpah dan juga rasa yang khas. Singkat cerita saya
dikenalkan dengan Pak Apner Manolang yang memiliki gereja dan rumah di Telaga
Lina. Dihantui rasa penasaran, saya bersama Pak Yos menyusun rencana untuk ke
Telaga Lina.
Jumat 4 November
2015, sekitar pukul 05.00 kami berangkat dari Center YTP di Desa Soamaetek.
Saya dibonceng oleh Pak Haya sementara Pak Yos bersama Pak Herson. Diperluhkan
waktu sekitar 40 menit berkendaraan dengan melewati daerah Kusuri-Trans Zero
dengan jalan yang tak beraspal kadang bergelombang dan terjal hingga tiba
ditempat penggalian tanah. Perjalanan harus dilanjutkan dengan berjalan kaki
melewati hutan, yang memakan waktu sekitar 85 menit. Motor Pak Herson,
ditinggalkan di Hutan, sementara Pak Haya kembali kedesa. Rasanya menyenangkan
sekali berjalan di tengah kesunyian hutan, dengan pohon-pohon tinggi, perdu,
dan rimbunnya tumbuhan paku. Kami beristirahat sejenak di pertengahan jalan,
sambil menikmati makanan ringan yang dibawa. Kami pun melanjutkan perjalanan
dengan melewati sungai, kebun, dan hutan yang semakin gelap dengan modal senter
kecil dan HP. Diperluhkan waktu sekitar 1 jam 20 menit untuk tiba ditelaga.
Saat tiba, waktu sudah menunjukan pukul 19.45 malam.
Saat tiba, Pak
Abner hendak pergi mandi, kami juga turut serta. Kami berangkat menuju telaga.
Dengan memakai rakit dari bambu kami menyebarang telaga untuk pergi mandi
ditempat yang disebut air dingin. Air dingin merupakan mata air yang berada
persis di samping telaga dan airnya mengalir ke telaga. Mata air ini digunakan
untuk keperluan minum dan mandi oleh warga Telaga Lina. Saat kembali kami
dihidangkan makanan berupa nasi, ikan bakar, ikan goreng yang disiram bumbu
pedas, dabu-dabu, dan pisang rebus. Sesudah menikmati makanan, kami bercerita
ditengah kesunyian malam di tengah hutan yang sepi dengan udara yang semakin
dingin.
Keesokan paginya
kami mengelilingi Telaga untuk mengambil gambar. Konon keberadaan telaga ini
pada awalnya merupakan sebuah kampung yang tenggelam akibat adanya dua insan
bersaudara yang saling jatuh cinta sehingga. Telaga yang cukup luas ini memiliki
ketinggian 96 meter dengan bentuk menyerupai huruf C. Ada hal yang hingga
sekarang belum terjawab mengenai perubahan warna air telaga yang sering berubah
menjadi kecoklatan dan kadang kehijauan. Masyarakat juga mempercayai bahwa
didasar telaga ada harta karun yang terpendam. Di telaga ini terdapat ikat gabus, nila dan
mujair yang berukuran besar. Masyarakat yang mendiami wilayah telaga kebanyakan
orang dari Desa Pitago dan Soamatek, Kecamatan Kao Barat. Telaga ini diberikan
kepada mereka sebagai hadiah dari sultan.
Masyarakat hidup
dengan menangkap ikan ditelaga dan berkebun. Saat mendapat hasil tanggkapan
dalam jumlah yang banyak biasanya ikan ditampung pada kerambah sederhana dari jaring
yang di sungai. Kebun warga dibuat dengan membongkar hutan untuk ditanam
singkong, pisang, pala, padi, dan kacang. Masyarakat terbagi menjadi dua
wilayah yakni Kampung Tua yang dihuni oleh sekitar 22 kepala keluarga yang
menetap pada 9 rumah. Dikampung Tua ada sebuah gereja sederhana, biasanya
mereka beribadah pukul 10.00 yang dipimpin oleh pelayan dari Gereja GMIH
Pitago. Saat disana saya beribadah bersama mereka. Sesudah ibadah, kami makan
bersama dengan lauk ikan dan nasi yang dimasak memakai bambu, namanya nasi
bulu. Kami makan dengan suasana yang hangat dan damai. Dikampung baru ada 4
rumah dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 6. Selama ditelaga saya menginap
dikampung baru. Saat malam malam minggu kami makan malam dengan nasi kuning,
ikan bakar, dan pisang bakar yang saya bakar sendiri.
Walaupun tak
mudah untuk menemukan dan menuju telaga, semuanya akan terbayar dengan pesona
dan suasana telaga yang berada ditengah lebatnya hutan. Saya bersyukur bisa
mengunjungi Telaga Lina yang asri dan misterius dengan warga yang ramah dan
sangat bersahabat. Walau hanya 3 hari, saya merasa beruntung bisa berkunjung,
semoga suatu saat saya bisa berkunjung lagi. Saya berharap keindahan Telaga
Lina tetap terjaga.
Langganan:
Postingan (Atom)