Terkadang
hari yang berkesan tak selalu dilalui
layaknya jalan aspal yang mulus. Kamis, 9 September 2016 sesudah mengajar di
Taman Kanak- Kanak di Desa Kai Atas, seperti biasa saya dan teman guru saya
langsung kembali ke Penginapan. Sepanjang perjalanan, telinga kami di temani
suara-suara anak-anak yang menyapa dengan suara “Pak Guru..u..u….!. Dalam
perjalanan kami melewati sebuah jembatan dengan rangka dari besi tetapi
dasarnya tidak beraspal tetapi diberi kayu selebar 25 Cm masing-masing dua buah
disisi kiri dan kanan. Tiba di penginapan sesudah makan saya membaringkan tubuh
saya sejenak di kamar sambil menunggu waktu untuk mengajar di Feeding Learning
Center (FLC) di desa Kai Bawah. FLC sendiri merupakan suatu program Yayasan
Tangan Pengharapan Indonesia (YTPI) didaerah pedalaman yang memberi makan dan
pendidikan secara gratis bagi generasi penerus bangsa.
Seketika
langit tampak murung, di susul lebatnya titik-tik hujan deras menjadi teman
istirahat yang sempurna mengingat panasnya udara Halmahera Utara yang menusuk
dikulit. Seketika pikiran saya melayang jauh membayangkan perjalanan yang akan
saya lalui sebentar menuju FLC, Desa Kai Bawah. Jalan menuju desa ini tidak
beraspal, tekstur tanah yang tidak rata dan
berlubang, berwarna merah dan licin. Bisa kita bayangkan saat musim
hujan, tentu akan membutuhkan perjuangan tersendiri untuk melewatinya. Tepat
pukul 01.30, seperti biasa kami berdoa bersama dan siap berangkat ke titik Feeding
masing-masing. Kali ini saya ditemani Ibu Ratna. Dari Kai Atas kami harus
berjalan sekitar 750 meter menuju Kai Bawah, medan yang kurang bersahabat
setelah diguyur hujan deras sebelumnya membuat kami memutuskan untuk berjalan
kaki. Perjalanan dengan medan seperti ini, merupakan pengalaman pertama saya di
Maluku Utara dengan menenteng lauk yang akan menemani santapan nasi anak-anak
sebelum belajar.
Selama
perjalanan saya harus berhati-hati karena tanah yang licin dan berlumpur.
Beberapa kali saya harus berhenti sejenak dan membersihkan lumpur yang menempel
di sandal, dan juga harus mengambil alas kaki yang tertanam didalam lumpur.
Kira-kira 100 meter sebelum tiba, dari kejauhan anak-anak berteriak sambil
mengangkat tangan, Pak Gur..u…u.uuuuuu !!. Moment disambut dengan “senyuman
khas anak pedalaman” seolah menghilangkan kesan selama perjalanan 26 menit
melewati medan yang “luar biasa” memberi kesan baru dalam hidup saya. Sulitnya jalan yang harus di lalui menjadi gambaran bagaimana
anak-anak di Halmahera Utara khususnya di desa Kai, Bailengit, dan Soamaetek,
Kecamatan Kao Barat, Propinsi Maluku Utara, Indonesia yang mengalami kesulitan
untuk memperoleh pendidikan yang layak. Padahal kita tahu bersama, peran
pendidikan sangatlah mempengaruhi kehidupan masyarakat. Di desa-desa ini
pendidikan sangatlah kurang, hal ini tercermin dari rendahnya kemampuan siswa
dalam memahami materi pelajaran. Bisa anda bayangkan, ada siswa yang sudah
duduk di bangku SD kelas IV, bahkan SMP belum bisa membaca, untuk pelajaran
matematika sederhana seperti perkalian bersusun juga belum dikuasai dengan
baik, bahkan oleh anak sekolah tingkat SMP dan SMA. Di sini ada beberapa
sekolah baik SD, SMP, SMA dan SMK, namun dari pengamatan saya melihat mereka
memiliki jam pelajaran yang tidak sama seperti didaerah saya, mereka dapat
datang den keluar sekolah sesuka mereka. Jumlah guru yang kurang turut
mempengaruhi pahitnya pendidikan di daerah ini. Guru-guru yang mengajar,
terutama PNS datang sesuka mereka. Kepalah sekolah, tak mampu berbuat banyak
untuk mengatasi persoalankehadiran guru, karena takut guru yang bersangkutan
pindah.
Saya tahu tidak akan mudah untuk mengubah pendidikan yang rendah ini
tanpa dukungan dari pihak lain, namun saya akan tetap berusaha untuk memberikan
apa yang mampu saya bagikan untuk anak-anak di sini. Saya juga berharap suatu
saat dalam diri anak-anak ini muncul suatu kemauan tinggi untuk belajar agar
cahaya masa depan yang cerah dapat mereka raih.
#Mari berbagi bersama Yayasan Tangan Pengharapan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar